TINJAUAN
KONSEP MANAJEMEN MULTI BUDAYA DI SEKOLAH
Abstrak
Pembaharuan administrasi bidang
pendidikan di Indonesia
terus mengalami upaya-upaya perbaikan, dalam rangka menghadapi tantangan yang
semakin kompleks. Pembaharuan atau perkembangan yang dialami administrasi pendidikan dengan sendirinya akan merubah
makna atau rumusan tentang administrasi pendidikan. Berkaitan dengan hal
tersebut, perlu dicermati lebih lanjut berbagai konsep manajemen yang utuh, agar
konsep-konsep tersebut dapat dipilih secara selektif, disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya organisasi dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan bagi
pencapaian tujuan organisasi. Salah satu konsep manajemen yang ada pada antara
era industri akhir (Genarasi IV) ke era pengetahuan awal (Generasi V) adalah konsep
manajemen multi budaya.
Key Word: manajemen, multi, budaya, organisasi, dan sekolah.
Pendahuluan
Manajemen merupakan bagian yang sangat
penting dalam sistem organisasi, termasuk organisasi pendidikan, yang
didalamnya terintegrasi konsep perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan (evaluasi). Oleh karena itu, apabila salah satu sub sistem tadi
kurang berperan dengan baik, maka akan terjadi mis management atau kekeliruan dalam mengelola manajemen. Jadi
bukan sekedar “salah urus” yang
cenderung hanya menekankan pentingnya pelaksanaan.
Manajemen dengan berbagai konsep dan
jenisnya berkembang pesat terutama di organisasi bisnis, yang tentu saja dengan
modifikasi-modifikasi tertentu dapat dimanfaatkan oleh organisasi pendidikan,
sebagai organisasi berkategori non profit. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba
menguraikan konsep manajemen multi budaya yang dapat dipergunakan di sekolah.
Konsep Manajemen Multi
Budaya
Makna manajemen multi budaya
(pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda,
memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik
secara internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa,
karsa/karya seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman
nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non
profit.
Pemahaman manajemen multi budaya
sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi budaya dalam struktur dan
komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi yang
berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama), kegiatan-kegiatan yang
bersifat global, kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan baru yang terpadu,
pluraslisme masyarakat dalam suatu negara, sehingga diperlukan suatu seni dan
ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman budaya itu dapat saling
mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam keragaraman tersebut.
Esensi dari manejemen multi budaya
terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun
perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang keragaman budaya
tersebut (Hall & Hall, 1987 dalam Elashmawi & Haris, 1999:4-27).
Sejak berkomunikasi antar personal
apakah kegiatan bisnis atau keperluan lainnya (seperti misalnya berjabat
tangan, pembicaraan telepon, negosiasi, seminar, pelatihan, berunding, rapat
dan lainnya), sebenarnya telah terjadi tentang budaya, yang hanya sukses kalau
pihak-pihak yang berkomunikasi sadar, mengerti serta hormat terhadap nilai dan
perbedaan orang lain, kelompok lain, suku atau bangsa lain. Lebih lanjut,
menghargai keragaman budaya, berarti menghargai nilai-nilai budaya (sendiri
atau pihak lain), lebih-lebih prioritas nilai budaya yang diutamakan, serta
menjalin komunikasi lintas budaya.
Pentingnya peranan komunikasi dalam
manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa model-model komunikasi yang
sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah contoh model
komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:
Gambar 1
Model Kepercayaan, Nilai dan
Komunikasi Multi Budaya
Sumber : Elashmawi & Haris (1999:82-84)
Dari gambaran di atas tersirat
pengertian bahwa perilaku seseorang (dalam bisnis, kehidupan sosial, pemerintahan
dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai yang
dianutnya dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya orang
Jepang) bekerja di Amerika, memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan
kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika,
tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian,
keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di
Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku
di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.
Untuk itu, model di atas perlu
dilanjutkan dengan membangun kepekaan budaya, disebut model kesenangan/kepuasan
(happy/satisfied), seperti diragakan pada gambar berikut:
Gambar 2
Model Kesenangan/Kepuasan
Sumber : Elashmawi & Haris (1999:85-86)
Dalam model ini harus disadari
perbedaan nilai-nilai budaya yang ada dan saling berinteraksi. Berkomunikasi
dengan orang Jepang misalnya, Fase I sangat dihargai, biasanya memakanya waktu
lama, karena orang Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran
mitra asing meraka, lebih dari sekedar hanya menjawab langsung, meraka sangat
antusias. Barulah mereka ambil bagian pada Fase II, sedangkan Fase III sudah
tinggal meluruskan apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV tinggal
dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, senderung kurang
suka berlama-lama pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau
ke dua nilai budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah
kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan budaya.
Penerapan Konsep Manajemen Multi Budaya
di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang manajemen
multi budaya sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini
akan diuraikan tentang penerapan konsep manajemen multi budaya dalam konteks
persekolahan.
Berbicara tentang manajemen multi
budaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang memuat
nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Dalam
konteks persekolahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan di sekolah,
tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai
organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para
siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are
moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan
di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger (Sumadi
Suryabrata, 1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya
dikembangkan di sekolah, yaitu ilmu pengetahuan, ekonomi, kesenian, keagamaan, kemasyarakatan,
dan politik atau kenegaraan.
Sementara Fred Luthan dan Edgar
Schein, melihat karakteristik budaya organisasi di sekolah, sebagai
berikut yaitu obeserved behavioral regularities,
norms, dominant value, philosophy, rules dan organization climate.
norms, dominant value, philosophy, rules dan organization climate.
Obeserved
behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan
cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan
berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang
digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang
dianut oleh anggota sekolah.
Norms; budaya organisasi di sekolah
ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar
perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku
ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada
kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa
terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak.
Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau
akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Sedangkan berkenaan
dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi
yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam
perspektif kebijakan
pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi
guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu: (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan
peserta didik yang meliputi: pemahaman wawasan atau landasan kependidikan,
pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya;
(2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan. (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar, materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait, penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, dan kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
(2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan. (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar, materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait, penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, dan kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan
pendidikan Indonesia
dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya
organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu
pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di
sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Dalam konteks
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan
meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek
input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan
sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada
aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga
mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat
dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik
maupun non akademik.
Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan
adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang
sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang
dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi
dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada
perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan
kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya
upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa:
“pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di
sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju
utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis
dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan
siswa.”
Rules; budaya organisasi ditandai dengan
adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi.
Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber
dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh
warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di
sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school
discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan
sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya
tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest
78 mengatakan bahwa: “ School discipline has two main goals:
(1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment
conducive to learning.
Organization
climate; budaya
organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources
Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the
perception of how it feels to work in a particular environment. It is the
"atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the
way we do things here.” Di sekolah terjadi interaksi yang saling
mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus
dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi
setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun
sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: “Lingkungan kerja yang kondusif
baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan
motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan
lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak,
fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti
hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi,
bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Arti Penting Pengelolaan Multi Budaya
dalam Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya
membangun budaya organisasi di sekolah, dalam konteks manjemen multi budaya, terutama
berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan
kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School
Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan
motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas
guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan
Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah
yaitu: tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi,
komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey
terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820
sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya
dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat.
Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D.
McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya
pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa.
Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement,
goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with
those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya
organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja.
Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school
cultures had better motivated teachers. In an environment with strong
organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and
intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased
productivity”.
Upaya untuk
mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala
sekolah selaku leader dan manajer di
sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan
sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas
guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang
kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya
organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman
tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas
dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, beberapa
kesimpulan,dapat sampaikan sebagai
berikut:
1. Prinsip-prinsip
manajemen multi budaya penting diterapkan sebagai salah satu upaya peningkatan
kualitas interaksi antar budaya melalui komunikasi yang baik, sehingga terwujud
saling pengertian, membangun kepekaan budaya dan yang terpenting tidak lagi
menganggap SARA sebagai momok, tapi justru sumber kekuatan dan peluang dalam
mewujudkan konsep persatuan dalam keragaman.
2. Berbicara tentang
manajemen multi budaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi,
yang memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan
organisasi. Dalam konteks persekolahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan
di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri
sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk
berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada
para siswanya.
3. Pentingnya membangun
budaya organisasi di sekolah, dalam konteks manjemen multi budaya, terutama
berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan
kinerja sekolah.
Daftar Bacaan
Elashmawi, Farid &
Philip R. Haris, 1999. Manajemen Multi
Budaya, Kecakapan Baru Demi Sukses Global (terjemahan). PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta .
Depdiknas. 2001. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP
Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995.
Organizational Behavior. Singapore :
McGraw-Hill,Inc.
Hay Group.
“Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http://www. hayresourcesdirect. haygroup.com/
Misc/style_climate_intervention.asp.) 2003
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/
digests/digest078.html ). ERIC Digest 78. December 1992
Larry Lashway. Ethical Leadership. http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html).
ERIC Digest. Number 106. June 1996.
Moh. Surya
.1995. Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II
Kuningan h. 3-8
Schein,.
Edgar H. 1992. Organizational Culture and
Leadership. San Francisco :
Jossey Bass, Pub
Stephen Stolp.
“Leadership for School Culture”. (http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/
ed370198.html). ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994.
Sumadi Suryabrata.
1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta
: CV Rajawali. h.105
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !